Monday 7 November 2016

BACKPACKER'an ke BORNEO (Sampit)

Sampit, mendengar nama kota ini mungkin yang terlintas dipikiran selalu kejadian silam yang menakutkan. Akan tetapi semua pasti akan salah ketika kita tiba di kota ini.
Awal dari perjalanan ini dimulai dengan ketidaksengajaan iseng-iseng browsing harga tiket murah melalui aplikasi yang sering muncul di iklan televisi. Benar saja ternyata harga tiket pesawat dari Solo ke Kalimantan tidak semahal yang dibayangkan. Berbekal uang hasil jual landak mini, akhirnya saya nekat berangkat ke pulau Kalimantan dengan tujuan utama di Kota Palangkaraya. Selisih harga tiket yang sangat banyak menjadi opsi utama yang menjadikan saya memilih tujuan Solo - Palangkaraya.

Pembelian tiketpun sudah dilakukan, hal yang saya takutkan selanjutnya adalah naik pesawat. Ya, saya belum pernah naik pesawat sebelumnya. Searching-searching tips dan trik cara naik pesawatpun saya lakukan dan memang memalukan, tapi ini semua demi terlihat pede ketika memasuki bandara.
hari yang dinantipun tiba. Saya menuju bandara Solo atau yang lebih dikenal dengan bandara Adi Soemarmo.
Setelah sampai di bandara saya langsung menuju pintu masuk untuk segera check in lebih awal agar bisa santai-santai dulu.
 Tiketpun sudah didapat dan saya bisa santai sambil tiduran di ruang tunggu, maklum sebelum sampai di bandara sejak pagi saya takziah di tempat tetangga. Sehingga rasa kantuk yang luar biasa menemani saya selama di Bandara ini. Hujan deras sebelum keberangkatan membuat rasa kantuk hilang dan diganti rasa takut yang berlebihan. Benar saja, pesawat yang akan saya naiki delay hingga 30 menit lebih.
Setelah hujan mereda barulah salah seorang petugas mengisyaratkan para penumpang untuk mulai memasuki pesawat. Segera saya masuk dan mencari tempat duduk sesuai dengan nomor kursi yang ada di tiket, dan kebetulan saya duduk di dekat jendela sehingga bisa mendapatkan foto seperti di atas.
Perasaan takut sebelumnya langsung hilang ketika sudah memasuki kabin pesawat, ternyata naik pesawat itu tidak ada bedanya dengan naik Bus. Mungkin yang membedakan kalau pesawat itu ada pramugarinya sedangkan Bus hanya ada kernet.

setelah hampir 1 jam lebih di atas pesawat sampailah saya di bandara Palangkaraya. Dan saya sama sekali tidak memiliki bayangan bagaimana cara menuju Sampit dari Palangkaraya. Tetapi dengan ijin Alloh saya dipertemukan dengan seseorang yang sangat baik saat di Bandara. Ya, saya bertemu dengan bapak-bapak dari Jogja yang saya lupa bertanya namanya siapa. Saya diajak naik taksi bersama menuju tempat Travel yang akan mengantarkan saya ke Sampit. Yang membuat saya menyesal adalah kebodohan saya yang tidak sempat bertanya nama dan meminta nomor hp nya. Terima kasih saya ucapkan semoga Alloh membalas kebaikan bapak. Sampai di tempat travel saya langsung membeli tiket dengan tujuan Sampit seharga 100 ribu. Travel ini memiliki alamat di jalan RTA Miliono. Setelah menunggu tidak lebih dari 30 menit akhirnya mobil sudah siap berangkat dan perasaan saya sudah tak terkira. Dengan modal nekat akhirnya kota Sampit sudah dekat. Saya duduk di mobil bagian tengah, tempat duduk paling tidak nyaman untuk melakukan perjalanan hampir 4 jam. Pegal dan tidak bisa tidur menjadi momok menakutkan jika kalian duduk di tempat yang saya duduki ini. Dengan kecepatan yang sangat tinggi dan didukung jalanan yang sepi, mobil melaju diatas kecepatan 90 km/jam. Pikiran saya sudah tidak peduli, karena bagi saya lebih cepat sampai lebih bagus agar impian saya ke kota Sampit segera terealisasi. Di dalam mobil saya juga sempat bertanya-tanya bagaiamana keadaan kota Sampit kepada penumpang lain. Sampit ternyata kota yang lumayan besar di Kalimantan Tengah. Kata penumpang yang duduk di sebelah saya rata-rata penduduk Sampit berasal dari Jawa sehingga komunikasinya pun tidak sulit seperti di daerah lain. Setelah saya banyak bertanya tentang kota Sampit, kemudian saya ditanya balik, mau turun dimana pas di kota Sampit, dengan PDnya saya mengatakan turun di Jalan S. Parman samping rumah makan Firmanuddin. Seketika saya ditertawakan oleh semua penumpang mobil, katanya jalan S.Parman itu besar dan ancer-ancer rumah makan Firmanuddin merupakan ancer-ancer yang sulit untuk ditemukan. Langsung saya menghubungi kakak saya yang sudah menunggu di alamat tersebut, dan sialnya kakak saya malah tertidur karena waktu saat itu sudah menunjukkan pukul 1 dinihari. Sopir travel sudah mulai kelihatan panik karena sudah menyusuri jalan S. Parman dan belum menemukan rumah makan yang bernama Firmanuddin. Akhirnya sopir berhenti dan bertanya kepada warga sekitar, dan apa yang terjadi, ternyata rumah makan tersebut ada 2. akan tetapi hanya ada satu yang berada di dekat mushola dan itu arahnya sudah terlewati, akhirnya mobil balik arah dan berjalan pelan. Sampai kemudian, rumah makan itu ditemukan. alhamdulillah. Saya sampai di Sampit dengan selamat, turun dari mobil saya disambut oleh kakak saya yang setengah tidak percaya adiknya bisa sampai disini dengan selamat. Maklum saya baru pertama ini melakukan perjalanan jauh antar pulau. Sampi dimushola saya istirahat sebentar kemudian bergegas untuk pulang di rumah kakak yang berada di komplek perkebunan sawit Agro Bukit. Dengan bodohnya saya tidak memakai helm dan jaket waktu itu, hawa dingin dan angin yang berhembus membuat perjalanan malam itu menjadi sangat mengerikan ditambah suasana jalanan trans Kalimantan yang panjang dan sepi sempurna sudah perjalanan malam itu. Setelah hampir 45 menit perjalanan di atas aspal mulus, sekarang petualangan dimulai, saya langsung kaget begitu melihat tanah merah yang basah karena mungkin tadi ada hujan yang mengguyur jalan ini. Kakak saya yang sudah terbiasa dengan jalan model ini, tetap melaju dengan kecepatan 60 km/jam sedangkan saya yang berada dibelakang hanya bisa berdoa agar tidak jatuh saja. Di samping jalan, berjejer ribuan pohon kelapa sawit yang sama sekali belum pernah aku lihat di tanah Jawa. Sehingga perjalanan malam itu menjadi kenangan pertama saya melihat sebuah pohon yang buahnya bisa dijadikan minyak goreng ini.

Pagi Hari di Lahan Sawit


Setelah menempuh perjalanan berkesan semalam, kami tidur hingga bangun kesiangan. Segera kami sholat subuh dan kakak langsung bergegas ke kantor untuk apel pagi. Sedangkan saya, lanjut tidur. Jam menunjukkan pukul 6 pagi, kakak kembali dan menawarkan pertanyaan retoris, mau sarapan atau tidak? saya yang semalam menahan lapar dari Solo segera mengiyakan tawaran itu. Segera kami makan dengan lauk seadaanya tapi nasi sebanyak-banyaknya. Maklum setelah ini saya akan ikut dengan kakak untuk menjelajah suasana kebun sawit.

Dengan perut yang kenyang dan sudah mandi, saya siap untuk berkeliling kebun. Tanpa menggunakan helm dan memakai kaos hitam merupakan kesalahan terbesar saya hari itu. Panas matahari pulau Kalimantan ternyata memang sesuai dengan letaknya yang dekat dengan garis khatulistiwa, ditambah tanpa membawa air minum, hasilnya saya pun kelelahan di kebun waktu itu.
Saya tertidur hampir setengah jam dengan posisi paling tidak enak sepanjang sejarah tidur saya. Pelajaran yang bisa saya ambil dari kejadian ini adalah betapa kuatnya orang-orang yang bekerja di kebun sawit dengan panas yang begitu mengerikannya ini mereka mampu menjatuhkan buah kelapa sawit hingga memenuhi satu Dump Truck.