ANALISIS FEMINISME NOVEL
SAMAN, TARIAN BUMI, GENI JORA, NAYLA
Pengertian Bahasa Baku
Menurut Wikipedia bahasa baku adalah ragam bahasa yang diterima untuk dipakai dalam situasi resmi, seperti dalam perundang-undangan, surat-menyurat, dan rapat resmi. Bahasa baku terutama digunakan sebagai bahasa persatuan dalam masyarakat bahasa yang mempunyai banyak bahasa. Bahasa baku umumnya ditegakkan melalui kamus (ejaan dan kosakata), tata bahasa, pelafalan, lembaga bahasa, status hukum, serta penggunaan di masyarakat (pemerintah, sekolah, dll).
Sedangkan menurut buku “Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia” edisi ketiga, ragam bahasa baku adalah ragam bahasa orang yang berpendidikan, yakni bahasa dunia pendidikan yang merupakan pokok yang sudah agak banyak ditelaah orang. Ragam itu jugalah yang kaidah-kaidahnya paling lengkap diperikan jika dibandingkan dengan ragam bahasa yang lain.
Ragam bahasa ini mengalami proses pembakuan yang bermula pada ragam bahasa pendidikan dengan berbagai coraknya dari sudut pandangan sikap, bidang, dan sarananya. Ragam bahasa baku disebut juga ragam bahasa standar yang ditandai dengan tiga ciri, yaitu:
1. Sifat kemantapan dinamis yang berupa kaidah dan aturan tetap (tidak dapat berubah setiap saat)
2. Kecendekiaan yang diwujudkan dalam kalimat, paragraf, dan satuan bahasa lain yang lebih besar dalam mengungkapkan penalaran atau pemikiran yang teratur, logis, dan masuk akal.
3. Baku atau standar berpraanggapan adanya keseragaman. Proses pembakuan pada taraf tertentu berarti proses penyeragaman kaidah, bukan penyamaan ragam bahasa, atau penyeragaman variasi bahasa.
SAMAN
1. “Sebab saya sedang menuggu Sihar di tempat ini. Di tempat yang tak seorangpun tahu kecuali gembel itu. Tak ada orang tua, tak ada istri. Tak ada hakim susila atau polisi. Orang-orang, apalagi turis, boleh seperti unggas: kawin begitu mengenal birahi. Setelah itu, tak ada yang perlu ditangisi. Tak ada dosa.” (Ayu Utami, 2010: 2-3)
Analisis :
Kutipan tersebut menggambarkan orang yang akan melakukan hubungan intim disebuah tempat dan tidak ada orang lain yang tahu kecuali mereka berdua.
2. “1984. Akhirnya ditempuhnya perjalanan itu. Usianya kini dua puluh enam. Ia telah menyeberangi Selat Sunda dengan kapal feri yang sesak dan pikuk oleh orang dan kendaraan, dari Merak, turun di Bakauheuni, lalu naik kereta ke arah utara. Di Perabumulih stop.” (Ayu Utami, 2010: 58).
Analisis:
Kutipan tersebut menggambarkan sikap seorang perempuan yang memiliki semangat dan tekad yang kuat dalam menyelesaikan tugasnya.
3. Saya sendiri barangkali hanya menjaga perasaan istrinya atau dirinya. Sebab saya belum kawin. Sehingga tak hanya begitu, meski sebetulnya saya terlalu rindu. Tapi siapa yang harus menimbang perasaan itu di antara kami akhirnya saya harus menanggungnya (Ayu Utami, 2010: 2)
Analisis:
Kutipan tersebut menggambarkan bahwa seseorang harus memikirkan perasaan orang lain sebelum melakukan sesuatu.
4. “Kalau kekasihku muncul dari gerbang itu saya akan katakan padanya kita sudah tidak jumpa empat ratus dua hari lamanya. Dan dia akan tertegun akan penantian saya. Dan ia akan terharu. Ia akan mengecup dahi saya. Lembut, seperti orang menyayangi, tak melulu birahi. Tapi akan saya katakan bahwa kali ini saya telah siap dan saya telah memilihnya sebagai lelaki yang pertama.”
(Ayu Utami, 2010: 30)
Analisis:
Kutipan tersebut menggambarkan seorang perempuan juga mempunyai hak untuk memutuskan dan memilih siapa pasangan hidupnya.
5. “Yasmin Minangka adalah perempuan yang mengesankan banyak lelaki karena kulitnya yang bersih dan tubuhnya yang langsing.”
(Ayu Utami, 2010: 16)
Analisis :
Kutipan tersebut menggambarkan bahwa perempuan itu mempunyai kelebihan yang mungkin tidak dimiliki oleh seorang laki-laki yang membuatnya terkesan.
6. “Sihar orang yang bisa bicara dengan kasar kepala atasan atau dalam pekerjaan seperti kepada Rosano. Tetapi dengan perempuan tak ada satu patah omongan yang kotor keluar. Tak juga canda yang cahul.”
(Ayu Utami, 2010: 17)
Analisis :
Kutipan tersebut menggambarkan bahwa perempuan itu memiki hak untuk dihargai dan dihormati oleh kaum laki-laki.
7. “Lalu aku melobi mereka agar tidak memaksaku mengenakan nama ayahku dalam dokumen-dokumen, sebab kami tak punya konsep itu. Dan kukira tidak perlu . " Tapi tak mungkin orang cuma mempunyai satu kata ". Kata mereka. Atau barang kali aku ini bukan orang ". Lalu aku terpaksa kompromi.”
(Ayu Utami, 2010: 96)
Analisis :
Kutipan tersebut menggambarkan bahwa perempuan memiliki hak dan persamaan derajat yang sama dengan laki-laki.
- “ Dia sahabat terbaik yang pernah kudapat karena itu aku takut ia disakiti. Barangkali ia terlalu protektif.”
(Ayu Utami, 2010: 91)
Analisis :
Kutipan tersebut menggambarkan sifat seorang perempuan yang penyayang dan saling menjaga perasaan satu sama lain dan dia ingin melindungi sahabatnya dengan tidak menyakiti hatinya.
- Sihar orang yang bisa bicara dengan kasar kepada atasan atau dalam pekerjaan seperti kepada Rosano. Tetapi dengan perempuan tak ada satu patah omongan kotornya keluar. Tak juga canda yang cahul (Ayu Utami, 2010:17).
Analisis:
Kutipan tersebut menggambarkan seorang perempuan harus diperlakukan secara lemah lembut.
10. “Di taman ini, saya adalah seekor burung. Terbang beribu-ribu mil dari sebuah negeri yang tak mengenal musim, berimigrasi mencari semi, tempat harum rumput bisa tercium, juga pohon-pohon, yang tak pernah kita tahu namanya, atau umurnya…”
(Ayu Utami, 2010: 1-6)
Analisis :
Kutipan tersebut menggambarkan seorang perempuan juga berhak mendapatkan kebebasan didalam kehidupannya.
11. “Tak ada kemarahan yang perlu diawetkan seperti dendamku pada Bapak. Juga tak ada cinta yang tahan lama seperti manisan dalam botol selai. Semuanya seperti tomat: menggemaskan hari ini, lalu layu beberapa hari lagi.” (Ayu Utami, 2010:146).
Analisis :
Kutipan tersebut menggambarkan sikap perempuan yang mampu menjaga amarahnya.
12. “Aku ini ternyata sebuah poselin Cina. Patung, piring, cangkir porselin boleh berwarna biru, hijau muda, maupun cokelat. Tapi mereka tak boleh retak, sebab orang-orang akan membuangnya ke tempat sampah, atau merekatkannya sebagai penghias kuburan. Ibuku berkata, aku tak akan retak selama aku memelihara keperawananku.”
(Ayu Utami, 2010:127-128)
Analisis :
Kutipan tersebut menggambarkan bahwa seorang perempuan berkewajibaan menjaga keperawanananya sampai menikah nanti.
13. “Keperawanan adalah persembahan seorang perempuan kepada suaminya. Dan kau cuma punya satu saja, seperti hidung”.
(AyuUtami, 2010: 127-128)
Analisis :
Kutipan tersebut menggambarkan seorang perempuan harus memberikan keperawanannya hanya kepada suami.
14. “Karena itu, jangan pernah di berikan sebelum menikah, sebab kau akan menjadi barang pecah belah.”
(AyuUtami, 2010: 127-128)
Analisis :
Kutipan tersebut menggambarkan bahwa seorang perempuan harus menjaga keperawanannya agar dihargai oleh kaum lelaki.
TARIAN BUMI
- “Aku capek miskin, Kenten. Kau harus tahu itu. Tolonglah carikan aku Ida Bagus. Apapun syarat yang harus kubayar, aku siap”(Oka Rusmini, 2002: 23).
Kutipan tersebut menggambarkan bahwa perempuan tidak ingin tinggal diam menghadapi kemiskinan.
2. “Aku tidak akan kawin, Meme. Aku tidak ingin mereka bohongi. Aku benci seluruh laki-laki yang membicarakan perempuan dengan cara tidak terhormat!”
(Oka rusmini, 2002:34 ).
Analisis :
Kutipan tersebut menggambarkan seorang perempuan yang dengan tegas membela kaumnya yang direndahkan oleh kaum laki-laki.
3. “Perempuan bali, Luh, perempuan yang tidak terbiasa mengeluarkan keluhan. Mereka lebih memilih berpeluh. Hanya dengan cara itu mereka sadar dan tahu bahwa mereka masih hidup dan harus tetap hidup. Keringat mereka adalah api. Dari keringat itulah asap dapur bisa tetap terjaga. Mereka tidak hanya menyusui anak yang lahir dari tubuh mereka. Mereka pun menyusui laki-laki. Menyusui hidup itu sendiri.”
(Oka, Rusmini, 2002: 31 )
Analisis :
Kutipan tersebut menggambarkan sosok perempuan Bali adalah pekerja keras dan patuh pada adat istiadat maka sewajarnya perempuan memperoleh hak yang sama dengan kaum laki-laki.
GENI JORA
1. “Siapakah yang menentukan kelas-kelas ? Sehingga laki-laki adalah kelas pertama ? Sementara Rabi’ah adawiyya laksana roket mengatasi ranking dan kelas.”
(Abidah El Khalieqy, 2004: 60)
Analisis :
Kutipan tersebut menggambarkan bahwa seorang perempuan berhak memperoleh hak yang sama dengan kaum laki-laki.
2. “Nilaiku ranking pertama tetapi (sekali lagi tetapi), jenis kelaminku adalah perempuan.”
(Abidah El Khalieqy, 2004: 60)
Analisis :
Kutipan tersebut menggambarkan bahwa perempuan mempunyai hak setara dengan kaum laki-laki tetapi harus ingat bahwa kodratnya adalah tetap perempuan.
3. “Jika perempuan tidak mau mengalah, dunia ini akan jungkir balik berantakan seperti pecahan kaca.”
(Abidah El Khalieqy, 2004: 61)
Analisis :
Kutipan tersebut menggambarkan bahwa perempuan pada dasarnya mempunyai sifat pengalah.
4. “Kau tahu apa arti dunia milik kita berdua ? itu artinya separuh kekuasaan milik laki laki dan separuhnya lagi milik perempuan.”
(Abidah El Khalieqy, 2004: 170)
Analisis :
Kutipan tersebut menggambarkan bahwa perempuan mempunyai derajat yang sama dengan kaum laki-laki.
NAYLA
1. “Kamu tak pernah tahu, anakku, seberapa dalam ayahmu menyakiti hatiku. Ia menyakiti kita dengan tidak mengakui janin yang ku kandung sebagai keturunannya. Ia meninggalkan kita begitu saja tanpa mengurus atau pun mendiskusikan terlebih dahulu masalah perceraian. Aku yang merawatmu dengan penuh ketegaran sejak kamu berada di dalam kandungan. Aku yang membesarkan dengan penuh ketabahan. Aku menafkahimu. Aku memberimu tempat berteduh yang nyaman. Aku menyediakan segala kebutuhan sandang dan pangan. Akan kubuktikan kepadanya, anakku, bahwa aku bisa berdiri sendiri tanpa perlu ia mengulurkan tangan.”
(Djenar Maesa Ayu, 2005: 6)
Analisis :
Kutipan tersebut menggambarkan sikap perempuan yang kuat menghadapi masala kehidupan tanpa sosok lelaki.
2. “Senang sekali rasanya kembali menghirup udara kebebasan. Hampir 3 bulan saya terkurung di dalam barak itu, hanya melakukan upacara pagi, menjahit, mencuci, mengepel, dan menyapu. Heran, kenapa Cuma keterampilan itu yang mereka bekali ke perempuan. Tanpa diajari pun kami pasti bisa melakukannya.
(Djenar Maesa Ayu, 2005:21)
Analisis :
Kutipan tersebut menggambarkan bahwa seorang perempuan pasti bisa melakukan pekerjaan yang seharusnya dilakukan seorang perempuan.
3. “Laki-laki menciptakan mitos perempuan ideal. Perempuan ideal adalah perawan. Padahal kenyataannya, banyak sekali perempuan yang vaginanya tidak mengeluarkan darah ketika pertama kali melakukan hubungan seksual…. Hal-hal kecil seperti mengendarai sepeda atau menari balet sekali pun bisa mengakibatkan selaput dara pecah. Tak heran masih banyak orang tua yang tidak setuju putrinya ikut les tari balet, karena takut putrinya tak lagi suci di malam pengantin.”
(Djenar maesa ayu, 2005: 78-79)
Analisis :
Kutipan tersebut menggambarkan bahwa keperawanan bagi seorang wanita itu sangat penting.
4. “Ia memukuli saya tanpa sebab yang bisa diterima akal sehat. Karena Ibu berkuasa. Karena Ibu kuat. Saya dipukuli ketika menumpahkan sebutir nasi. Tidak rapi, kata Ibu. Tapi yang saya lihat di sekolah, anak lain kerap menumpahkan tidak hanya sebutir nasi, namun segepok nasi berikut dengan lauknya tanpa dipukuli ataupun diomeli Ibunya. Saya dijemur di atas yang panas terbakar terik matahari tanpa alas kaki, karena membiarkan pensil tanpa kembali menutupnya. Tidak bertanggung jawab, kata Ibu. Tapi yang saya lihat di sekolah, anak lain kerap membiarkan pensil mereka tak berpenutup dan orang tuanya dengan suka rela mencarikan dan menutupnya. …Ibu memang kuat. Dan saya begitu lemah untuk tidak merasa takut pada Ibu. (Djenar Maesa Ayu, 2005: 112-113)
Analisis :
Kutipan tersebut menggambarkan seorang ibu yang mendidik anaknya dengan disiplin supaya anaknya bisa berkembang menjadi pribadi yang baik dan menghargai sesuatu walaupun sekecil apapun.
No comments:
Post a Comment